Apa Artinya Widowati??

KUBERI nama engkau Rahwana karena aku hanya manusia biasa. Kau harus berbeda. Kau akan segera tumbuh dewasa dengan keagungan cintamu yang tak tertandingi berabad-abad. Aku menginginkan sejarah itu berulang, betapa kemurnian cinta Sukeksi pada kematangan Wisrawa ini telah berbuah sebuah keperkasaan yang menjelma padamu, menjadi sebuah lingkaran yang akan membuat dunia ini abadi.

Sepuluh kepalamu menengok delapan mata angin, dua yang lain melongok langit dan perut bumi. Inilah sejatinya surga bagi ayahmu setelah wirang yang tak terhapuskan itu. Tak dapat terlupakan getaran triloka menyambut kehadiranmu. Tangis pertamamu itulah sebenarnya tangis ayahmu yang tak patut untuk dinyatakan. Orang-orang berkata, air mata seorang pandita adalah kegagalan menyeberang sungai kehidupannya sendiri. Tetapi engkau telah menebusnya dengan keluguanmu. Dunia hanya iri karena engkau terlalu kuat bagi mereka. Semua yang ada padamu menjadi sebuah kesalahan, sebagaimana mereka tak tahu sedikit pun apa yang sebenarnya terjadi di kamar ibumu, sesaat sebelum aku menjadi ayahmu. Kepadamu sesungguhnya mereka hanya menduga-duga, dan ketakutan mereka akan pikiran mereka sendiri itulah yang kemudian menyatukan utas-utas itu menjadi kebencian mendalam padamu.

Di manakah engkau kini Rahwana? Harusnya kau telah tumbuh dewasa. Aku hanya mendengar cerita orang. Engkau mendaki puncak tertinggi sambil membawa beban yang sedemikian berat. Beribu tahun engkau menyendiri, menghabisi kepalamu satu persatu. Hingga saat itu tiba, belum lama berselang kusaksikan dengan mata kepalaku dunia bergetar, dedaunan berhamburan, dahan-dahan berderak patah, lautan bergejolak, mencoba sebisanya agar kepala yang tinggal satu-satunya itu tak terpenggal. Aku dapat memastikan bahwa engkau akan segera pulang dengan segala keluguan yang itu, tetap dengan air mata ayahmu yang dulu. Tubuhmu tentu semakin kekar menjulang ke angkasa, wajahmu berkilat dengan mata menyorot tajam. Suara langkahmu yang begitu pasti, itulah yang selalu kurindukan untuk kudengar. Di setiap gerikmu, atas nama pengabdianku, kujanjikan semua isi dunia akan terpesona. Betapa istimewanya seorang perkasa yang mulanya tak lebih dari seonggok sampah yang bahkan lebih busuk dari apa yang dapat mereka bayangkan. Akan kukatakan pada mereka bahwa dari sampah itu telah tumbuh rumput liar dan semak-semak. Begitu suburnya tanah itu hingga lambat laun semak melebat menjadi belantara. Segala kekuatan berebut untuk bersarang.

Jagad akan kehabisan kata. Bahkan ketika kini mulai kudengar aroma tak sedap dari mulut mereka yang menuduhmu tak tahu malu dengan mencintai Sri Widowati, sesungguhnya bukankah itu telah menjadi hakmu? Mereka pasti lupa bahwa harga kepalamu yang tinggal satu itu setara dengan jagad ini. Kau bermurah hati dengan hanya meminta kesaktian dan seorang jantung hati. Tidak ada lagi yang kurang pada dirimu, anakku. Kelak setelah aku, kau dan mereka mati, pintu surga pertama kuharapkan dibuka untukmu.

Apakah aku terlalu berlebihan Rahwana? Oh, tidak Ngger! Semua orang tua akan berpendapat sama, hal terbaik bagi darah dagingnya. Kejarlah Widowati hingga kau dapatkan. Dengan begitu, kau menjaga nama baik para dewa yang telah menjanjikannya padamu. Aku bermimpi bahwa Widowati sedang menunggumu di tepi telaga yang airnya berwarna biru, yang teratainya begitu putih. Ia menggunakan mahkota daun dengan bertahtakan batu bintang yang berpijar berkilauan. Senyumnya, ya senyumnya akan memperpanjang umurmu seribu tahun lagi. Yang perlu kau lakukan hanyalah menjaga perasaannya agar ia begitu senantiasa. Ia sangat mengagumi keperkasaan dan kesetiaanmu, tak peduli ia sedang ada di mana. Ia adalah tekadmu sendiri yang tak pernah mempunyai batas. Tahukah kau anakku, apakah artinya itu? Kau akan mempertahankan hidupmu dengan cintamu ada Widowati. Jangan pernah kau melupakannya, karena saat ia tak lagi tersenyum, itulah takdirmu. Itulah saat di mana kaupertaruhkan lagi kepalamu yang tinggal satu-satunya itu untuk terakhir kali.

Rahwana, apakah aku menakutkanmu? Jangan Ngger! Kau tidak pantas untuk hal seperti itu. Ibumu akan marah padaku. Ia ingin tahu, setelah menjadi suami yang baik, apakah aku juga bisa menjadi ayah yang baik pula bagimu. Oh ya, apakah kau rindu Ibumu? Tentu saja, bodohnya aku. Percayalah, ibumu baik-baik saja. Ia tetap seorang putri dengan segala keanggunan alami yang dimilikinya. Ia sebutir permata istimewa yang keindahannya mampu membuatnya terjaga dari kotor dan debu. Aku tinggal mengolesinya dengan mentega dan wewangian untuk menghormatinya. Percayalah bahwa perempuan-perempuan sekarang sedang asyik berlomba meniru Ibumu. Mereka menguras segala untuk semirip mungkin dengan ibumu. Ibumu mencari kesempurnaan hidup, perempuan-perempuan itu mencari kebahagiaan. Dalam lubuk hati mereka, aku yakin sekali, adalah suatu kebanggaan yang tak terperi memiliki anak sepertimu.

Tadi pagi-pagi sekali aku menengok terbit matahari di tenggara. Kurasakan kehangatannya serupa hangat bayi telanjang di pelukan. Seperkasa apapun engkau wahai anakku, kuingin dapatkan sekejap saja waktu untuk menggendongmu sebagai seorang bayi. Sekejap mata cukup, dan aku akan merasa terlahir kembali. Napasku akan berhembus perlahan, bergerak dari paru-paru bumi menelusuri jalan setapak di sekujur tubuh sucimu. Akan kutemukan lagi sebuah masa saat keharuan sesak menggumpal, mencair, menguap dan lalu meniup semua kutukan atas diri kita oleh orang-orang yang mengaku sebagai penghuni jagad ini. Tak ada sedikit pun keraguan padamu, engkaulah sebenar-benarnya neraca yang akan menimbang jagad besar dan jagad kecil dalam sebuah kesetaraan yang sempurna. Itulah kudanganku padamu, kudendangkan dengan berlaksa syair karya para pujangga yang mahsyur di setiap masanya.

Dunia sedang bergolak, Ngger. Mereka kebingungan mencari panutan. Tahukan kau bahwa bintang-bintang kini tak lagi dapat dijadikan pegangan menentukan arah? Kapal-kapal mereka tersesat di lautan tak bertuan, tak ada bayangan pelabuhan atau apapun. Tanah telah semakin renta dengan ketuaannya, namun tak demikian halnya engan penghormatan yang seharusnya ia terima. Aku berdiri di sini dan membayangkan, apa gerangan kiranya yang sepadan untuk membalas budi baik bumi demi terjaganya keabadian hidup. Hanya satu hal, Anakku. Kesucian seorang bayi. Tak ada lagi yang lebih baik dari itu. Kau tahu sekarang, mengapa aku mengharapkanmu untuk tetap menjadi seorang bayi, meski hanya sebentar saja. Kau sedang dibutuhkan untuk meruwat umat. Waktu semakin sempit untuk kiamat yang mungkin saja segera tiba.

Lalu akan seperti apakah engkau berlaku? Tetaplah dalam sediakalamu, mempertahankan kepalamu yang tinggal satu itu. Tolong, jangan meminta apa-apa lagi. Itu hanya akan membuatmu lemah, hanya akan membawamu pada sebuah keinginan yang tak lebih dari bayang-bayang semata. Ingatlah selalu, bahwa pancasona selalu bersamamu. Engkau adalah sang kehendak itu sendiri. Mengertikah kau? Tak ada lagi yang harus diperdebatkan, karena bagaimana pun akulah yang mengoleskan kuas pertama kali pada lukisan hidupmu. Aku tahu. Bercerminlah, dan kau akan melihat bahwa sepasang mata itu adalah sepasang mata ayahmu. Juga dadamu yang bidang, ototmu yang kekar, gairahmu yang meluap, semuanya adalah milikku yang kusembunyikan di hampir sepanjang umurku. Sengaja kusimpan, dan kau tahu alasannya. Jadi jangan tanyakan hal yang tidak seharusnya.

Jika kau lihat saat ini ayahmu tak lebih dari seorang gelandangan kudisan, memang itulah yang tampak oleh mata. Setelah itu kau akan tahu bahwa separuh lebih umat jagad ini telah menganggapku gila, karena badanku kotor, pakaianku compang-camping, makananku dari keranjang sampah sisa orang-orang, kadang-kadang aku harus beradu cepat dengan anjing atau kucing untuk sekepal nasi bercampur daun alum dan lumpur. Itu sama sekali bukan soal, karena diriku ada padamu, seutuhnya. Maka sekali lagi kuminta, pertahankan kepalamu yang tinggal satu itu. Hanya dengan itu kau bisa melanjutkan perjalanan, menuju pada ayahmu ini. Sisa hidupku akan begitu berarti.

Jangan hiraukan rayuan orang-orang yang setiap hari memujimu, kau hanya akan hancur. Hancur ngger, benar-benar lumat dan akan beterbangan sebagai debu. Mereka lalu bersorak dengan kepuasan yang lepas karena tak ada lagi yang harus ditakuti. Hutan-hutan akan dibabat habis, kulit bumi dilukai dengan baja dan intan, ikan-ikan di lautan dibasmi dengan racun keserakahan mereka yang sesungguhnya tak mengerti apa artinya kenyang. Semua yang kubayangkan akan musnah. Aku akan kecewa, begitu pula ibumu. Saat orang menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi di kamar ibumu waktu itu, pada saat yang sama aku menangkap sebuah rencana besar untuk masa depan kehidupan ini. Tak seorang pun tahu, tidak juga kakekmu Sumali. Kita memang dipilih untuk peranan hebat ini.

Jika kemudian sejarah mencatat lain, itu bukan kuasa kita. Karena bukankah sejarah hanya dibangun oleh kesaksian dan kepercayaan, sedangkan keduanya adalah hal yang teramat mahal sementara kebanyakan umat sedang jatuh miskin. Jadi catatan itu tidak akan sanggup terbeli. Utas-utas kebencian itu, percayalah, tidak akan sampai menjadi simpul yang akan menjerat peranan kita. Kelak, saat daun-daun kering luruh dan tunas-tunas baru bermunculan, kebenaran akan terungkap. Akan lahir bayi-bayi dengan banyak kepala. Mereka akan semakin bijak dan semakin tangguh memikirkan sesuatu. Mereka adalah yang terbaik pada masanya, menimbang dengan cermat, mengawasi segala arah, menampung segala perbedaan. Bayangkan betapa dahsyatnya kuasa hidup. Kau, sesungguhnya adalah contoh pertama. Hanya rupanya orang-orang tidak menghendakimu. Jadi jangan risau dengan mereka, berjalanlah lurus ke arahku sekarang juga. Sekarang juga Ngger!

Benar, kau berada di padang pasir. Luasnya setara dengan laut yang memisahkan Alengka dan Pancawati. Tak ada mata air kali ini, kau harus menahan haus itu sampai ke seberang. Itulah sebenar-benarnya membangun tambak, sebuah jembatan penyeberangan. Jika mereka menulis dengan benar, yang terbaca adalah “Rahwana Tambak” dan bukan “Rama Tambak”. Gunakan seluruh kemampuanmu untuk menghadapi cobaan berat ini. Ular-ular berbisa nampaknya akan mengadangmu dengan penyamaran yang sempurna. Racun mereka berbahaya, anakku. Meski begitu, kau tak butuh ribuan kera atau apapun karena semuanya telah ada padamu, dulu dan kini. Padang pasir ini adalah lautan bagimu, dan kau tidak perlu mengeringkan atau menimbunnya dengan bebatuan dan pepohonan. Di padang pasir ini, kau tidak akan tenggelam, kecuali dalam angan-anganmu sendiri. Yang kaubutuhkan hanya

Teruslah memandang lurus. Riak kecil pasir yang terbawa angin itu adalah ombak yang akan mendorong perahumu ke tujuan. Jangan melawan arahnya. Bujuk saja dia dengan kesungguhanmu, maka ia akan bergerak searah dan membuaimu dari belakang. Benar, arahnya barat laut. Kau lakukan sendiri. Bayangkan di kejauhan, tanganku membuka lebar, menantimu untuk sebuah pelukan kerinduan berabad-abad. Aku akan mendendangkan Dhandhanggula untukmu. Banyak waktu kuhabiskan untuk menulis syairnya. Tiap kali kudengar kabar tentang kepalamu yang terpenggal waktu itu, satu baris terselesaikan. Jadi setelah sembilan kepalamu sirna, Dhandhanggula ini menyisakan satu baris lagi. Kaulah yang harus menyelesaikannya. Tak peduli kapan, ketahuilah bahwa baris itulah yang akan mengantar ayah dan ibumu ke negeri cahaya. Sedang bagimu, semua ini baru saja dimulai. Setelah segala yang kau alami, kau akan terlahir kembali, mungkin dengan namamu yang baru. Dengan restuku, raihlah Widowati yang telah menawan hatimu. Ayahmu telah pergi.